Ribuan tahun sebelum masehi Padi yang terkenal ke seluruh dunia itu pertama kali ditemukan di tengah hutan di India yang terkenal dengan sebutan :"Padi". Jadi teman-teman sekarang bisa mengetahui bahwa sesungguhnya padi itu sudah ada ribuan tahun sebelum masehi. Temen-temen tau Dewi Sri kan. Kalo di Indonesia Beliau ditampilkan sebagai dewi padi yang anggun sambil membawa seikat padi. Kalo di India agak lain: masih etap anggun, tapi kedudukannya nggak sekedar dewi padi melainkan dewi pembawa kemakmuran dan diidentifikasikan dengan Lakhsmi Devi. Baru beberapa hari kemarin aku membaca kalo di China juga ada Dewi Sri, termasuk Dewata Buddhis. Karena karma baiknya yang terlampau besar di masa lalu maka Ia memiliki kemampuan memberkahi manusia dengan kemakmuran atau dengan kata lain menghapuskan karma buruk orang tersebut yang menyebabkan ia menjadi miskin. Katanya ada sutra yang menuliskan demikian, tapi aku nggak tau apa nama sutranya.Kalo ceritanya putri di zaman lampau kan legendanya Indonesia. Yang saudara dikutuk menjadi burung sedangkan putri tersebut dikutuk menjadi ular kan. Lalu ular tersebut menjaga sawah sehingga para petani tidak mau dan tidak boleh membunuh ular hijau yang berada di sawah karena dipercaya sebagai penjaga sawah. Cerita lainnya bercorak Hindhu Jawa, yaitu dewi Sri sebagai istri Bathara Guru. Beliau dikejar-kejar utusan Bathara Guru karena terpesona akan kecantikannya, lalu dikutuk oleh Dewi Sri menjadi babi hutan. Lalu Dewi Sri memohon agar ia berubah menjadi tanaman agar tidak dikejar-kejar babi hutan itu lagi, lalu -plop- menjadi tanaman padi di sawah, bukan padi ladang loh. Namun, ternyata babi hutan tersebut terus mengejarnya dengan menjadi hama.Kalo kedua cerita tersebut ya pasti jauh berbeda. Versinya juga banyak kalo diceritakan satu per satu. Aku sendiri kurang jelas cerita Dewi Sri versi India. Lebih banyak diceritakan soal Dewi Lakhsmi, tapi itu kan sudah bukan lagi ceritanya Dewi Sri walau sama Penjelasan dari thangka Shri Devi di Tibet dikatakan kalau beliau satu-satunya Dammapala wanita. Itulah yang aku nggak jelas, kan Dhammapala lain juga banyak yang menampilkan wujud sebagai wanita. Lagipula aspeknya sangat berbeda dengan Dewi Sri. Dongeng yang berhubungan dengan Padi ternyata di seluruh nusantara amat banyak, seperti dongeng dari daerah Bali, Jawa, Suda, Sumatra, dll. Berikut adalah kutipan dongeng yang bersal dari daerah Jawa Barat :
Dikutip dari : Buletin Kebudayaan Jabar (Kawit)
Kita sebagai mahkluk hidup yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa di dunia ini adalah tergolong makhluk yang paling mulia di dunia dengan sebutan “manusia”. Dan tidaklah kita sangkal lagi bahwa yang menjadi makanan pokok adalah “padi”. Walau ada di beberapa belahan bumi ini yang dijadikan makanan pokoknya adalah gandum-pisang-jagung-kentang dan lain-lain. Tetapi mengenai padi ini ada keistimewaannya tersendiri pula yang sangat unik. Secara sederhana penulis berusaha mencukil cerita pantun tentang riwayat Dewi Sri - Dewi Padi yang mana sebelumnya dalam acara memetik padi (menuai) diadakan secara tradisional untuk “ngahormat” Dei Padi tersebut dengan pantun Tarawangsa Desa Cibarengkok inilah riwayat Dewi Sri penulis peroleh dan penulis tuangkan kembali di sini yang meudah-mudahan ada faedahnya bagi kita semua. Tersebut pada zaman itu di Taman Sorga Loka, Sunan Ibu kedatangan “Dewi Sri Pohaci Long Kancana” yang melaporkan bahwa di Buana Panca Tengah belum terdapat “Cihaya” berupa sesuatu kebutuhan hidup para umat, yang ada baru berupa “Nur Muhammad”. Mendengar hal tersebut, Sunan Ibu menitahkan agar Dewi Sri Pohaci Long Kancana berangkat ke Buana Panca Tengah. Dalam seyogianya Dewi Sri Pohaci Long Kancana tidaklah berkeberatan untuk berangkat ke Buana Panca Tengah asalkan kepergiannya ditemani Eyang Prabu Guruminda. Permohonan Sang Putri pun dikabulkan oleh Sunan Ibu.Sebelum berangkat meninggalkan Sorga Loka, Eyang Guruminda duduk bersemedi memohon petunjuk Hiang Dewanata. Setelah selesai semedi dan memperoleh petunjuk, dengan kesaktiannya yang hanya dalam waktu sekejap sang Putri berubah bentuk menjadi sebuah telur. Setelah semua persiapannya selesai, maka berangkatlah Eyang Guruminda mengiring Dewi Sri Pohaci Long Kancana dengan tujuan Negara Buana Panca Tengah, yang disimpan dalam sebuah Cupu Gilang Kencana. Prabu Guruminda setelah beberapa lama terbang ke setiap penjuru utara-selatan-barat-timur yang pada akhirnya pada suatu ketika Cupu Gilang Kencana terbuka dan “telur” di dalamnya pun terjatuhlah. Sudah menjadi kersaning Sang Dewata, telur yang terjjatuh tadi jatuh di suatu tempat yang mana tempat itu dihuni oleh Dewa Anta. (Cirebon sekarang?). Dewa Anta yang mengetahui di tempat bersemayamnya ada telur, ta ayal lagi maka telur itu pun dieraminya. Setelah beberapa waktu lamanya telur dalam eraman Dewa Anta menetas dan lahirlah seorang putri yang sangat cantik.Dalam kedewasaannya dengan paras yang sangat cantik yang akhirnya tersiar berita ke seluruh negri dan berdatanganlah ratu-ratu kerajaan pada zamannya dengan maksud akan meminangnya untuk dijadikan permaisuri. Dewi sri pohaci Long Kencana memperoleh pinangan dari para ratu ini bukanlah menjadikan hatinya senang karena bila ia menerima pinangan berarti ia telahmengingkari niatnya dan amanat yang telah dibebankan kepadanya. Kepada setiap ratu pun telah dijelaskan bahwa maksud pengembaraannya itu bukan semata-mata untuk mencari bakal suami, namun untuk mengemban amanat dari Sang Hiang Widi di Sorga Loka yaitu untuk menganugerahkan “CIHAYA” kepada negara gelar Buana Panca Tengah. Walau penjelasan telah disampaikan namun pinangan terus-menerus berdatangan juga dan oleh karenanya pada akhirnya Dewi Sri Pohaci Long Kencana menderita tekanan bathin dan jatuh sakit. Lama kelamaan sakitnya semakin parah dan tibalah suatu saat Sang Putri menyampaikan amanat terakhir “Nanti bila saatnya tiba dan bila kelak aku sudah disemayamkan, akan terdapat suatu keanehan-keanehan pada pusaraku”. Hendaknya diperhatikan pada pusaraku; pada bagian “larangan” kelak akan tumbuh “pohon enau”, sedang pada bagian “puser” akan tumbuh bermacam-macam tumbuhan dan pada bagian kepala akan tumbuh “pohon kelapa”. Dan akhirnya dengan kehendak Sang Hiang Widi, Putri antik pun tilemlah.Benarlah apa yang diamanatkan oleh Sang putri adalah menjadi kenyataan. Dikisahkan pada suatu hari, ada kakek-nenek pencari kayu yang seperti biasanya pada hari-hari tertentu mencari kayu bakar dan sekedar mencari bahan makanan untuk bekal hidupnya berdua. Suatu ketika kakek dan nenek mendapatkan sebuah pusara yang telah ditumbuhi oleh tumbuh-tumbuhan yang belum pernah ditemui dan dilihatnya selama ini. Seperti apa yang telah diwasiatkan terdahulu bahwa pada bagian “larangan” tumbuh pohon enau dan pada bagian kepala tumbuh pohon kelapa. Namun pada bagian sekitar pusernya tumbuh bermacam-macam tumbuhan dan tepat pada “puser’nya tumbuh suatu tanaman yang sangat aneh dan belum pernah selama ini kakek dan nenek menemukannya dan baru kali ini melihatnya. Adalah serangkai tumbuhan berdaunan bagus berbuah masih hijau berbulu bagus pula. Timbul niatnya untuk memeliharanya dan dibersihkannya sekitar tumbuhan tersebut. Demikian dari hari ke hari minggu ke minggu dengan penuh kesabaran dan ketekunan tumbuhan itu dipeliharanya. Tak terasa waktu berjalan terus hingga menjelang bulan ke 5, buah yang hijau tdi telah buncit berisi, sehingga buah yang setangkai itu merunduk karena beratnya. Dengan penuh kesabaran dan keyakinan lagi pula ingin mengetahui sampai di mana dan apa sebenarnya tumbuhan yang aneh itu. Setelah beberapa lama menjelang bulan ke 6 ditengoknya kembali tumbuhan tersebut dan ternyata butir-butir buah tadi berubah menjadi kuning sangat indah nampaknya.Setelah keduanya termenung maka timbullah niat untuk memetiknya.Sebelum dipetik buah tadi dicicip terlebih dahulu dan ternyata isinya putih dan semu manis rasanya. Kakek dan nenek menyiapkan dupa beserta apinya untuk membakar kemenyan untuk memohon izin kepada Hiang Widi. Selesai upacara membakar kemenyan, ditebaslah tumbuhan yang dimaksud dan alangkah terkejutnya kakek dan nenek itu karena pada tangkai yang dipotong tadi mengeluarkan darah bening serta harum *) namun bagi kakek dan nenek tidaklah menjadi penyesalan karena disadarinya bahwa kejadian ini sudah menjadi kehendak yang kuasa. Dan sudah bening serta harum pulalah yang dijadikan kemenyan. Namun timbul kemudian niatnya untuk menanamnya kembali dan butir-butir buah tadi ditanamnya kembali sekitar pusara tadi. Keajaibannya pun terjadi kembali karena dengan seketika itu pula butir-butir tadi tumbuh dan sudah berbuah kuning pula. Kakek dan nenek langsung menbasnya pula dan ketika itu pulalah ditaburkannya butir-butir kuning itu demikina terus kejadian itu terulang sehingga terkumpullah ikatan butir-butir buah kuning banyak sekali. Atas kejadian ini kakek dan nenek menjadi bingung karenanya, memperoleh hasil sangat berlimpah dalam waktu sekejap. Dari asal buah setangkai. Lagi pula apa yang mereka miliki belum tahu apa dan buah apa gerangan terlebih namanya pun belum ada. Demikian, karena kakek dan nenek dalam kebingungan bahkan belum mendapat keputusan untuk memberinya nama. Sehingga tiba-tiba nenek mengusulkan bahwa berhubung kakek dan nenek selalu bingung tidak bisa ada keputusan dan sukar untuk memilih, yang dalam bahasa Sundanya disebut “paparelean” lebih baik buah ini kita sebut “pare” saja, demikian yang pada akhirnya tumbuhan serta buahnya tadi diberi nama “Pare”. Tidaklah keberatan kiranya penulis di sini sedikit menganalisa atas terjadinya nama “Pare”. Pertama, mungkin karena ada kata “paparelean” asal dari dua suku kata yaitu “papar” yang artinya “jelas”, “maparkeun” yang artinya menjelaskan, atau menegaskan, serta diambil dari kata “Alean” (Sunda) yang artinya “milih” sehingga gabungan dari dua suku kata awal yang mengandung dua makna yaitu “Par” da “e” pada elean sehingga menjadi kata “Pare”. Kedua, mungkin asal kejadian dari kata “Alean” itu sendiri yang artinya memilih. Umpamanya saja kami ambilkan contoh dari kata “pilih” bisa jadi “milih” - marilih - “Parilih”. Sehingga dalam kata “Alean” pun (kata Sunda buhun) bisa terjadi perubahan bentuk menurut kebutuhan menjadi pang”marelean”keun-di “perelean” yang kemudian hasil dari “marilih” tadi disebut “PARE”. Demikian hingga sekarang di tatar Sunda yang dimaksud Nagara Buana Panca Tengah, hingga kini tumbuhan serta buahnya yang dimaksud disebut “PARE”, yang merupakan cita-cita Dewi Sri Pohaci Long Kancana untuk kelengkapan hidup yang disebut “CIHAYA”.
Dikutip dari : Buletin Kebudayaan Jabar (Kawit)
Kita sebagai mahkluk hidup yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa di dunia ini adalah tergolong makhluk yang paling mulia di dunia dengan sebutan “manusia”. Dan tidaklah kita sangkal lagi bahwa yang menjadi makanan pokok adalah “padi”. Walau ada di beberapa belahan bumi ini yang dijadikan makanan pokoknya adalah gandum-pisang-jagung-kentang dan lain-lain. Tetapi mengenai padi ini ada keistimewaannya tersendiri pula yang sangat unik. Secara sederhana penulis berusaha mencukil cerita pantun tentang riwayat Dewi Sri - Dewi Padi yang mana sebelumnya dalam acara memetik padi (menuai) diadakan secara tradisional untuk “ngahormat” Dei Padi tersebut dengan pantun Tarawangsa Desa Cibarengkok inilah riwayat Dewi Sri penulis peroleh dan penulis tuangkan kembali di sini yang meudah-mudahan ada faedahnya bagi kita semua. Tersebut pada zaman itu di Taman Sorga Loka, Sunan Ibu kedatangan “Dewi Sri Pohaci Long Kancana” yang melaporkan bahwa di Buana Panca Tengah belum terdapat “Cihaya” berupa sesuatu kebutuhan hidup para umat, yang ada baru berupa “Nur Muhammad”. Mendengar hal tersebut, Sunan Ibu menitahkan agar Dewi Sri Pohaci Long Kancana berangkat ke Buana Panca Tengah. Dalam seyogianya Dewi Sri Pohaci Long Kancana tidaklah berkeberatan untuk berangkat ke Buana Panca Tengah asalkan kepergiannya ditemani Eyang Prabu Guruminda. Permohonan Sang Putri pun dikabulkan oleh Sunan Ibu.Sebelum berangkat meninggalkan Sorga Loka, Eyang Guruminda duduk bersemedi memohon petunjuk Hiang Dewanata. Setelah selesai semedi dan memperoleh petunjuk, dengan kesaktiannya yang hanya dalam waktu sekejap sang Putri berubah bentuk menjadi sebuah telur. Setelah semua persiapannya selesai, maka berangkatlah Eyang Guruminda mengiring Dewi Sri Pohaci Long Kancana dengan tujuan Negara Buana Panca Tengah, yang disimpan dalam sebuah Cupu Gilang Kencana. Prabu Guruminda setelah beberapa lama terbang ke setiap penjuru utara-selatan-barat-timur yang pada akhirnya pada suatu ketika Cupu Gilang Kencana terbuka dan “telur” di dalamnya pun terjatuhlah. Sudah menjadi kersaning Sang Dewata, telur yang terjjatuh tadi jatuh di suatu tempat yang mana tempat itu dihuni oleh Dewa Anta. (Cirebon sekarang?). Dewa Anta yang mengetahui di tempat bersemayamnya ada telur, ta ayal lagi maka telur itu pun dieraminya. Setelah beberapa waktu lamanya telur dalam eraman Dewa Anta menetas dan lahirlah seorang putri yang sangat cantik.Dalam kedewasaannya dengan paras yang sangat cantik yang akhirnya tersiar berita ke seluruh negri dan berdatanganlah ratu-ratu kerajaan pada zamannya dengan maksud akan meminangnya untuk dijadikan permaisuri. Dewi sri pohaci Long Kencana memperoleh pinangan dari para ratu ini bukanlah menjadikan hatinya senang karena bila ia menerima pinangan berarti ia telahmengingkari niatnya dan amanat yang telah dibebankan kepadanya. Kepada setiap ratu pun telah dijelaskan bahwa maksud pengembaraannya itu bukan semata-mata untuk mencari bakal suami, namun untuk mengemban amanat dari Sang Hiang Widi di Sorga Loka yaitu untuk menganugerahkan “CIHAYA” kepada negara gelar Buana Panca Tengah. Walau penjelasan telah disampaikan namun pinangan terus-menerus berdatangan juga dan oleh karenanya pada akhirnya Dewi Sri Pohaci Long Kencana menderita tekanan bathin dan jatuh sakit. Lama kelamaan sakitnya semakin parah dan tibalah suatu saat Sang Putri menyampaikan amanat terakhir “Nanti bila saatnya tiba dan bila kelak aku sudah disemayamkan, akan terdapat suatu keanehan-keanehan pada pusaraku”. Hendaknya diperhatikan pada pusaraku; pada bagian “larangan” kelak akan tumbuh “pohon enau”, sedang pada bagian “puser” akan tumbuh bermacam-macam tumbuhan dan pada bagian kepala akan tumbuh “pohon kelapa”. Dan akhirnya dengan kehendak Sang Hiang Widi, Putri antik pun tilemlah.Benarlah apa yang diamanatkan oleh Sang putri adalah menjadi kenyataan. Dikisahkan pada suatu hari, ada kakek-nenek pencari kayu yang seperti biasanya pada hari-hari tertentu mencari kayu bakar dan sekedar mencari bahan makanan untuk bekal hidupnya berdua. Suatu ketika kakek dan nenek mendapatkan sebuah pusara yang telah ditumbuhi oleh tumbuh-tumbuhan yang belum pernah ditemui dan dilihatnya selama ini. Seperti apa yang telah diwasiatkan terdahulu bahwa pada bagian “larangan” tumbuh pohon enau dan pada bagian kepala tumbuh pohon kelapa. Namun pada bagian sekitar pusernya tumbuh bermacam-macam tumbuhan dan tepat pada “puser’nya tumbuh suatu tanaman yang sangat aneh dan belum pernah selama ini kakek dan nenek menemukannya dan baru kali ini melihatnya. Adalah serangkai tumbuhan berdaunan bagus berbuah masih hijau berbulu bagus pula. Timbul niatnya untuk memeliharanya dan dibersihkannya sekitar tumbuhan tersebut. Demikian dari hari ke hari minggu ke minggu dengan penuh kesabaran dan ketekunan tumbuhan itu dipeliharanya. Tak terasa waktu berjalan terus hingga menjelang bulan ke 5, buah yang hijau tdi telah buncit berisi, sehingga buah yang setangkai itu merunduk karena beratnya. Dengan penuh kesabaran dan keyakinan lagi pula ingin mengetahui sampai di mana dan apa sebenarnya tumbuhan yang aneh itu. Setelah beberapa lama menjelang bulan ke 6 ditengoknya kembali tumbuhan tersebut dan ternyata butir-butir buah tadi berubah menjadi kuning sangat indah nampaknya.Setelah keduanya termenung maka timbullah niat untuk memetiknya.Sebelum dipetik buah tadi dicicip terlebih dahulu dan ternyata isinya putih dan semu manis rasanya. Kakek dan nenek menyiapkan dupa beserta apinya untuk membakar kemenyan untuk memohon izin kepada Hiang Widi. Selesai upacara membakar kemenyan, ditebaslah tumbuhan yang dimaksud dan alangkah terkejutnya kakek dan nenek itu karena pada tangkai yang dipotong tadi mengeluarkan darah bening serta harum *) namun bagi kakek dan nenek tidaklah menjadi penyesalan karena disadarinya bahwa kejadian ini sudah menjadi kehendak yang kuasa. Dan sudah bening serta harum pulalah yang dijadikan kemenyan. Namun timbul kemudian niatnya untuk menanamnya kembali dan butir-butir buah tadi ditanamnya kembali sekitar pusara tadi. Keajaibannya pun terjadi kembali karena dengan seketika itu pula butir-butir tadi tumbuh dan sudah berbuah kuning pula. Kakek dan nenek langsung menbasnya pula dan ketika itu pulalah ditaburkannya butir-butir kuning itu demikina terus kejadian itu terulang sehingga terkumpullah ikatan butir-butir buah kuning banyak sekali. Atas kejadian ini kakek dan nenek menjadi bingung karenanya, memperoleh hasil sangat berlimpah dalam waktu sekejap. Dari asal buah setangkai. Lagi pula apa yang mereka miliki belum tahu apa dan buah apa gerangan terlebih namanya pun belum ada. Demikian, karena kakek dan nenek dalam kebingungan bahkan belum mendapat keputusan untuk memberinya nama. Sehingga tiba-tiba nenek mengusulkan bahwa berhubung kakek dan nenek selalu bingung tidak bisa ada keputusan dan sukar untuk memilih, yang dalam bahasa Sundanya disebut “paparelean” lebih baik buah ini kita sebut “pare” saja, demikian yang pada akhirnya tumbuhan serta buahnya tadi diberi nama “Pare”. Tidaklah keberatan kiranya penulis di sini sedikit menganalisa atas terjadinya nama “Pare”. Pertama, mungkin karena ada kata “paparelean” asal dari dua suku kata yaitu “papar” yang artinya “jelas”, “maparkeun” yang artinya menjelaskan, atau menegaskan, serta diambil dari kata “Alean” (Sunda) yang artinya “milih” sehingga gabungan dari dua suku kata awal yang mengandung dua makna yaitu “Par” da “e” pada elean sehingga menjadi kata “Pare”. Kedua, mungkin asal kejadian dari kata “Alean” itu sendiri yang artinya memilih. Umpamanya saja kami ambilkan contoh dari kata “pilih” bisa jadi “milih” - marilih - “Parilih”. Sehingga dalam kata “Alean” pun (kata Sunda buhun) bisa terjadi perubahan bentuk menurut kebutuhan menjadi pang”marelean”keun-di “perelean” yang kemudian hasil dari “marilih” tadi disebut “PARE”. Demikian hingga sekarang di tatar Sunda yang dimaksud Nagara Buana Panca Tengah, hingga kini tumbuhan serta buahnya yang dimaksud disebut “PARE”, yang merupakan cita-cita Dewi Sri Pohaci Long Kancana untuk kelengkapan hidup yang disebut “CIHAYA”.
1 komentar:
Hi, sy dr jawa barat, baru tahu gondo, kl di bandung cuma di sebut kangkung darat dan kangkung hidroponik, jd saat beli sayur di bilang gondo...bingung jg...sy pikir sama sperti kangkung, rasa jg sama...aneh jg ya
Posting Komentar